Tuesday, February 24, 2015

Test 1 Mata Kuliah Seminar on Literature

Naturalisme dalam Kaitannya dengan Relasi Kuasa dan Determinisme dalam The Call of the Wild
Dari berbagai macam gerakan kesusastraan, terdapat satu gerakan yang bernama Naturalisme. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunculan dari gerakan ini, dan beberapa faktor tersebut adalahteori evolusi dan pemberontakan para penulis aliran naturalism terhadap nilai moral di tempat mereka berada. Mengenai salah satu faktor penyebab timbulnya naturalisme, naturalism “terisnpirasi oleh teori evolusi Darwin dan terus mempertahankan doktrin bahwa manusia, sebagai bagian dari kerajaan hewan, adalah subyek bagi hukum alam.” Mengenai sebab mengapa mereka memberontak pada nilai moral di masa itu, “mereka,” para naturalis, “memberontak pada situasi yang tidak dapat ditoleransi di tempat mereka berada.” Situasi tersebut adalah situasi ketika moral dan kehidupan manusia yang beradab dijunjung tinggi (genteel tradition) oleh kebanyakan orang saat itu yang merupakan pengaruh dari agama Kristen, dan sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap tradisi tersebut, peulis naturalis menulis:
“They were in rebellion against the genteel tradition because, like writers from the beginning of time, they had an urgent need for telling the truth about themselves, and because there was no existing medium in which they were privileged to tell it.” (Cowley, 2004)
Selain tradisi tersebut yang dilakukan oleh masyarakat saat itu (seperti menerapkan sensor pada media cetak) secara umum, naturalis menentang agama Kristen dan mereka tidak setuju terhadap ide bahwa manusia memainkan perannya dalam kehidupan dengan mengadopsi nilai moral. Para penulis aliran naturalism sejalan terhadap gagasan yang menyatakan bahwa takdir manusia dikendalikan oleh kekuatan alam itu sendiri, dan oleh karena itu, peran yang seharusnya dijalani oleh manusia adalah, tidak lebih dari sekedar pengamat dari alam dengan kekuatannya yang sangat besar:
“Reading and experience led to the same convictions: that Christianity was a sham, that all moral professions were false, that there was nothing real in the world but force and, for themselves, no respectable role to play except that of detached observers gathering the facts and printing as many of them as their publishers would permit.” (Cowley, 2004)
Lebih jauh lagi, naturalis tidak percaya pada kebudiluhuran manusia, dan karenanya hal tersebut bisa jadi merupakan faktor utama mereka tidak sejalan dengan penerapan nilai moral di kehidupan social. Lalu, melalui tulisan, pembuatan karya sastra, naturalis berusaha melawan tradisi yang bukan merupakan pilihan mereka. Selain menerapkan konsep “bukan manusia (not men)” dan “untuk mengambil gagasan tanggung jawab  manusia dari kesusastraan,” mereka menulis untuk memperkenalkan standar baru selain standar yang sudah ada dan telah diterapkan oleh masyarakat pada saat itu:
“Try as they would, they could not remain merely observers. They had to revolt against the moral standards of their time; and the revolt involved them more or less consciously in the effort to impose new standards that would be closer to what they regarded as natural laws.” (Cowley, 2004)
Setelah menjelaskan latar belakang penulis naturalism dalam menulis karya mereka, penjelasan mengenai naturalisme sebagai gerakan atau gaya dalam kesusastraan akan dijelaskan selanjutnya. Seperti yang dikatakan oleh Oscar Cargill, naturalism dalam sastra didefinisikan oleh karakteristiknya yaitu pessimistic determinism:
“Naturalism in literature has been defined by Oscar Cargill as pessimistic determinism, and the definition is true so far as it goes. The naturalists were all determinists in that they believed in the omnipotence of natural forces. They were pessimists in that they believed in the absolute incapacity of men and women to shape their own destinies.” (Cowley, 2004)
Sederhananya, penulis gerakan naturalism teguh dalam pendiriannya bahwa kekuatan alam jauh lebih kuat dan besar saat ia dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam alam tersebut. Namun, mereka juga percaya bahwa manusia tidak memiliki kemampuan dalam merencanakan, mengatur takdir mereke oleh mereka sendiri. Nampaknya, ini sangat beralasan, karena penulis dalam gerakan naturalism menganggap kekuatan alam, dan mungkin efek yang dihasilkan oleh kekuatan tersebut pada kehidupan manusia, berada di luar jangkauan, kuasa mereka. Lebih lanjut, penulis dari gerakan naturalism melihat manusia sebagai “korban dari kekuatan yang berada di luar kuasanya,” bahwa “laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari alam dan subyek dari hukum alam yang acuh tak acuh,” dan “manusia bukan apa-apa, hanya sekedar bagian dari kerajaan hewan, tidak lebih dari ephemerides yang berpendar dan jatuh dan terlupakan antara pagi dan senja.”
Keunggulan kekuatan alam atas manusia dijelaskan lebih jauh lagi dalam hal pandangannya dalam karya sastra naturalism:
“Men were naught, life was naught; FORCE only existed—FORCE that brought men into the world, FORCE that made the wheat grow, FORCE that garnered it from the soil to give place to the succeeding crop.” (Cowley, 2004)
Sebagai bukti bahwa takdir manusia ditentukan oleh kekuatan alam, konsep faktor hereditas merupakan bagian dari karya sastra naturalism. Menurut Norris, faktor hereditas tersebut adalah jahat, dan mewariskan keburukan/kejahatan. Hal itu bisa berarti apapun, namun yang pasti terdapat sesuatu yang diwariskan oleh satu generasi manusia ke generasi manusia selanjutnya. Dalam hal ini, manusia tak berdaya menghadapi alam:
“Below the fine fabric of all that was good in him,” Norris said, “ran the foul stream of hereditary evil, like a sewer. The vices and sins of his father and of his father’s father, to the third and fourth and five hundredth generation, tainted him. The evil of an entire race flowed in his veins. Why should it be? He did not desire it. Was he to blame?” (Cowley, 2004)
Lebih lanjut, dalam pandangan naturalis, “tidak ada yang disalahkan di dunia ini dimana laki-laki dan perempuan adalah subyek dari hukum yang mengatur segala benda (nobody was to blame in this world where men and women are subject to the laws of things).”
Presley menjelaskan kondisi alam dalam ruang lingkup naturalisme seperti tidak kenal ampun, tidak mentoleransi, dan siap menghancurkan manusia dan kehidupannya. Walaupun Presley menjelaskannya dengan demikian, Presley tidak mngartikan alam sebagai sesuatu yang kacau atau berbahaya, dan menjelaskan kalau kekuatan tersebut bekerja seperti mengalir dan alami, atau seperti memang sudah seharusnya terjadi.
  “There was no malevolence in Nature … Colossal indifference only, a vast trend toward appointed goals. Nature was, then, a gigantic engine, a vast, cyclopean power, huge, terrible, a leviathan with a heart of steel, knowing no compunction, no forgiveness, no tolerance; crushing out the human atom standing in its way, with nirvanic calm.” (Cowley, 2004)
Meskipun konsep yang diadaptasi oleh penulis gerakan anturalisme yang dimana kekuatan alam merupakan hal yang lebih unggul, atau maha kuasa, bukan berarti manusia tidak dapat melakukan apapun untuk dapat mengatasi apaun yang diberikan alam pada mereka. Dalam kutipan selanjutnya, kesulitan yang diberikan oleh alam, dalam ruang lingkup naturalism, ditunjukkan sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk berevolusi mundur (devolve) dan mengubahnya menjadi “the beast within.”
“A favorite theme in naturalistic fiction is that of the beast within. As the result of some crisis—usually a fight, a shipwreck, or an expedition into the Arctic—the veneer of civilization drops or is stripped away and we are faced with “the primal instinct of the brute struggling for its life and for the life of its young.”” (Cowley, 2004)
The Beast, yang secara umum dianggap primitif atau tidak berkebudayaan, adalah tahap selanjutnya dari evolusi versi sastra aliran naturalism, atau lebih tepat disebut devolusi/evolusi mundur.
“When evolution is treated in their novels, it almost always takes the opposite form of devolution or degeneration. It is seldom that the hero evolves toward a superhuman nature, as in Nietzsche’s dream; instead he sinks backward toward the beasts." (Cowley, 2004)
Lebih lanjut, tahap devolusi dalam sastra naturalism dimulai dari “manusia yang berbudaya berubah menjadi manusia barbar atau liar, manusia liar berubah menjadi manusia primitive dan manusia primitive direduksi menjadi elemen-elemen kimiawi yang menyusunnya (“civilized man became a barbarian or a savage, the savage became a brute and the brute was reduced to its chemical elements).”
.”
Sejauh ini, kekuatan alam didefinisikan sebagai hal yang memiliki karakter fisik dan biologis, dan dapat dikatakan bahwa kekuatan tersebut yang memiliki karakteristik demikian lebih unggul diandingkan manusia. Dalam hukum social, hukum alam tersebut berlaku seperti yang Jack London ungkapkan “prinsip biologis yang demikian, seperti seleksi alam dan yang paling dapat beradaptasilah yang bertahan, merupakan hukum social manusia (“that such biological principles as natural selection and the survival of the fittest were also the laws of human society.”)
Lebih lanjut, naturalis agaknya mengaitkan kekuatan alam dengan faktor-faktor social untuk menunjukkan manusia hanyalah sekedar subyek dari kekuatan alam:
“They believed that men were subject to natural forces, but they felt those forces were best displayed when they led to unlimited wealth, utter squalor, collective orgies, blood, and sudden death.” (Cowley, 2004)
Pembahasan mengenai apa itu naturalism dan sastra naturalism menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa dalam pandangan naturalism dan sastra naturalism. Foucault dalam Discipline and Punish membicarakan sedikit tentang relasi kuasa. Dalam kutipan berikut, ditunjukkan bahwa tubuh dimiliki oleh manusia namun alam dapat meakukan apapun kepada tubuh tersebut:
“But the body is also directly involved in a political field; power relations have an immediate hold upon it; they invest it, mark it, train it, torture it, force it to carry out tasks, to perform ceremonies, to emit signs.” (Foucault, 2004)
Foucault juga menyatakan, agar tubuh tersebut dapat menjadi kekuatan yang memiliki kegunaan, selain harus memiliki sifat produktif, tubuh tersebut harus ditaklukan (be subjected) melalui penaklukan (subjection):
“This subjection is not only obtained by the instruments of violence or ideology; it can also be direct, physical, pitting force against force, bearing on material elements, and yet without involving violence; it may be calculated, organized, technically thought out; it may be subtle, make use neither of weapons nor of terror and yet remain of a physical order.” (Foucault, 2004)
Lebih jauh, Foucault menjelaskan kuasa yang dimaksud bukan merupakan kewajiban atau larangan bagi mereka yang tidak memilikinya, dan kuasa tersebut juga menggunakan tekanan yang, bagi saya, dikenakan pada mereka, orang-orang yang berada dalam pengaruh kuasa tersebut:
“… this power is not exercised simply as an obligation or a prohibition on those who "do not have it"; it invests them, is transmitted by them and through them; it exerts pressure upon them, just as they themselves, in their struggle against it, resist the grip it has on them.” (Foucault, 2004)
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sastra naturalism memiliki salah satu karakteristik yaitu determinisme, disamping pesimistis.
“Determinism is a philosophical position according to which all human actions are predetermined. According to it, a person in a given situation may think that he is able to do this or that, but in every case the stars, the laws of physics, his character, the conditioning he has received or something else makes him unable to do any but one thing. It is essential to note that determinists do not say that some actions of some people are determined.” (Cowburn, 2007)
Menjelaskan lagi lebih jauh, determinisme dalam karya sastra terletak pada konsep hereditas:
“In the nineteenth century, some novelists thought that determinism was an essential element of the modern (scientific) world-view, and accepted it. These were the Naturalistic novelists, some of whom believed that heredity determines a person’s nature, which determines his or her actions.” (Cowburn, 2007)
Melalui determinisme dan relasi kuasa ini, “hukum” naturalisme dijalankan dalam karya sastra. Jika Foucault mengatakan kalau tubuh baru akan memiliki kegunaan tidak hanya saat tubuh tersebut memiliki sifat produktif, tetapi juga harus melalui proses “penaklukan” (subjection) sehingga terkondisi menjadi “ditaklukan” (be subjected),  maka proses dan kondisi tersebut dimungkinkan melalui “hukum” naturalisme dimana manusia dan makhluk hidup lainnya diuji lewat berbagai kondisi di dalam alam. Sedangkan konsep hereditas digunakan untuk mengunci, memastikan manusia, dan makhluk hidup lainnya, dalam ruang lingkup sastra naturalism untuk tidak dapat mengatur takdirnya, karena manusia tidak bisa menentukan apa yang akan dan tidak akan diwariskan olehnya kepada generasi selanjutnya.


Referensi
Cowburn, J. (2007). Determinism. In J. Cowburn, Free Will, Predestination, and Determinism (pp. 144, 161, 164). Milwaukee: Marquette University Press.
Cowley, M. (2004). Naturalism in American Literature. In H. Bloom, American Naturalism (pp. 49-78). Philadelphia: Chelsea House Publications.
Foucault, M. (2004). Discipline and Punish. In J. Rivkin, & M. Ryan (Eds.), Literary Theory: An Anthology Second Edition (pp. 549-551). Malden, Massachusetts.