Naturalisme
dalam Kaitannya dengan Relasi Kuasa dan Determinisme dalam The Call of the Wild
Dari berbagai macam
gerakan kesusastraan, terdapat satu gerakan yang bernama Naturalisme. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kemunculan dari gerakan ini, dan beberapa
faktor tersebut adalahteori evolusi dan pemberontakan para penulis aliran
naturalism terhadap nilai moral di tempat mereka berada. Mengenai salah satu
faktor penyebab timbulnya naturalisme, naturalism “terisnpirasi oleh teori
evolusi Darwin dan terus mempertahankan doktrin bahwa manusia, sebagai bagian
dari kerajaan hewan, adalah subyek bagi hukum alam.” Mengenai sebab mengapa
mereka memberontak pada nilai moral di masa itu, “mereka,” para naturalis,
“memberontak pada situasi yang tidak dapat ditoleransi di tempat mereka
berada.” Situasi tersebut adalah situasi ketika moral dan kehidupan manusia
yang beradab dijunjung tinggi (genteel
tradition) oleh kebanyakan orang saat itu yang merupakan pengaruh dari
agama Kristen, dan sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap tradisi
tersebut, peulis naturalis menulis:
“They were in rebellion against the
genteel tradition because, like writers from the beginning of time, they had an
urgent need for telling the truth about themselves, and because there was no
existing medium in which they were privileged to tell it.” (Cowley, 2004)
Selain tradisi tersebut
yang dilakukan oleh masyarakat saat itu (seperti menerapkan sensor pada media
cetak) secara umum, naturalis menentang agama Kristen dan mereka tidak setuju
terhadap ide bahwa manusia memainkan perannya dalam kehidupan dengan mengadopsi
nilai moral. Para penulis aliran naturalism sejalan terhadap gagasan yang
menyatakan bahwa takdir manusia dikendalikan oleh kekuatan alam itu sendiri,
dan oleh karena itu, peran yang seharusnya dijalani oleh manusia adalah, tidak
lebih dari sekedar pengamat dari alam dengan kekuatannya yang sangat besar:
“Reading and experience led to the
same convictions: that Christianity was a sham, that all moral professions were
false, that there was nothing real in the world but force and, for themselves,
no respectable role to play except that of detached observers gathering the
facts and printing as many of them as their publishers would permit.” (Cowley, 2004)
Lebih jauh lagi,
naturalis tidak percaya pada kebudiluhuran manusia, dan karenanya hal tersebut
bisa jadi merupakan faktor utama mereka tidak sejalan dengan penerapan nilai
moral di kehidupan social. Lalu, melalui tulisan, pembuatan karya sastra,
naturalis berusaha melawan tradisi yang bukan merupakan pilihan mereka. Selain
menerapkan konsep “bukan manusia (not men)”
dan “untuk mengambil gagasan tanggung jawab
manusia dari kesusastraan,” mereka menulis untuk memperkenalkan standar
baru selain standar yang sudah ada dan telah diterapkan oleh masyarakat pada
saat itu:
“Try as they would, they could not
remain merely observers. They had to revolt against the moral standards of
their time; and the revolt involved them more or less consciously in the effort
to impose new standards that would be closer to what they regarded as natural
laws.” (Cowley, 2004)
Setelah menjelaskan latar
belakang penulis naturalism dalam menulis karya mereka, penjelasan mengenai
naturalisme sebagai gerakan atau gaya dalam kesusastraan akan dijelaskan
selanjutnya. Seperti yang dikatakan oleh Oscar Cargill, naturalism dalam sastra
didefinisikan oleh karakteristiknya yaitu pessimistic
determinism:
“Naturalism in literature has been
defined by Oscar Cargill as pessimistic determinism, and the definition is true
so far as it goes. The naturalists were all determinists in that they believed
in the omnipotence of natural forces. They were pessimists in that they
believed in the absolute incapacity of men and women to shape their own
destinies.” (Cowley, 2004)
Sederhananya, penulis
gerakan naturalism teguh dalam pendiriannya bahwa kekuatan alam jauh lebih kuat
dan besar saat ia dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam alam tersebut.
Namun, mereka juga percaya bahwa manusia tidak memiliki kemampuan dalam
merencanakan, mengatur takdir mereke oleh mereka sendiri. Nampaknya, ini sangat
beralasan, karena penulis dalam gerakan naturalism menganggap kekuatan alam,
dan mungkin efek yang dihasilkan oleh kekuatan tersebut pada kehidupan manusia,
berada di luar jangkauan, kuasa mereka. Lebih lanjut, penulis dari gerakan
naturalism melihat manusia sebagai “korban dari kekuatan yang berada di luar
kuasanya,” bahwa “laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari alam dan subyek
dari hukum alam yang acuh tak acuh,” dan “manusia bukan apa-apa, hanya sekedar
bagian dari kerajaan hewan, tidak lebih dari ephemerides yang berpendar dan jatuh dan terlupakan antara pagi dan
senja.”
Keunggulan kekuatan
alam atas manusia dijelaskan lebih jauh lagi dalam hal pandangannya dalam karya
sastra naturalism:
“Men were naught, life was naught;
FORCE only existed—FORCE that brought men into the world, FORCE that made the
wheat grow, FORCE that garnered it from the soil to give place to the
succeeding crop.” (Cowley, 2004)
Sebagai bukti bahwa
takdir manusia ditentukan oleh kekuatan alam, konsep faktor hereditas merupakan
bagian dari karya sastra naturalism. Menurut Norris, faktor hereditas tersebut
adalah jahat, dan mewariskan keburukan/kejahatan. Hal itu bisa berarti apapun,
namun yang pasti terdapat sesuatu yang diwariskan oleh satu generasi manusia ke
generasi manusia selanjutnya. Dalam hal ini, manusia tak berdaya menghadapi
alam:
“Below the fine fabric of all that
was good in him,” Norris said, “ran the foul stream of hereditary evil, like a
sewer. The vices and sins of his father and of his father’s father, to the
third and fourth and five hundredth generation, tainted him. The evil of an
entire race flowed in his veins. Why should it be? He did not desire it. Was he
to blame?” (Cowley, 2004)
Lebih lanjut, dalam
pandangan naturalis, “tidak ada yang disalahkan di dunia ini dimana laki-laki
dan perempuan adalah subyek dari hukum yang mengatur segala benda (nobody was to blame in this world where men
and women are subject to the laws of things).”
Presley menjelaskan
kondisi alam dalam ruang lingkup naturalisme seperti tidak kenal ampun, tidak
mentoleransi, dan siap menghancurkan manusia dan kehidupannya. Walaupun Presley
menjelaskannya dengan demikian, Presley tidak mngartikan alam sebagai sesuatu
yang kacau atau berbahaya, dan menjelaskan kalau kekuatan tersebut bekerja seperti
mengalir dan alami, atau seperti memang sudah seharusnya terjadi.
“There was no malevolence in Nature … Colossal indifference only, a vast
trend toward appointed goals. Nature was, then, a gigantic engine, a vast,
cyclopean power, huge, terrible, a leviathan with a heart of steel, knowing no
compunction, no forgiveness, no tolerance; crushing out the human atom standing
in its way, with nirvanic calm.” (Cowley, 2004)
Meskipun konsep yang
diadaptasi oleh penulis gerakan anturalisme yang dimana kekuatan alam merupakan
hal yang lebih unggul, atau maha kuasa, bukan berarti manusia tidak dapat
melakukan apapun untuk dapat mengatasi apaun yang diberikan alam pada mereka.
Dalam kutipan selanjutnya, kesulitan yang diberikan oleh alam, dalam ruang
lingkup naturalism, ditunjukkan sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk
berevolusi mundur (devolve) dan
mengubahnya menjadi “the beast within.”
“A favorite theme in naturalistic
fiction is that of the beast within. As the result of some crisis—usually a
fight, a shipwreck, or an expedition into the Arctic—the veneer of civilization
drops or is stripped away and we are faced with “the primal instinct of the
brute struggling for its life and for the life of its young.”” (Cowley, 2004)
The
Beast, yang secara umum dianggap primitif atau tidak
berkebudayaan, adalah tahap selanjutnya dari evolusi versi sastra aliran
naturalism, atau lebih tepat disebut devolusi/evolusi mundur.
“When evolution is treated in their
novels, it almost always takes the opposite form of devolution or degeneration.
It is seldom that the hero evolves toward a superhuman nature, as in
Nietzsche’s dream; instead he sinks backward toward the beasts." (Cowley, 2004)
Lebih lanjut, tahap
devolusi dalam sastra naturalism dimulai dari “manusia yang berbudaya berubah
menjadi manusia barbar atau liar, manusia liar berubah menjadi manusia
primitive dan manusia primitive direduksi menjadi elemen-elemen kimiawi yang
menyusunnya (“civilized man became a
barbarian or a savage, the savage became a brute and the brute was reduced to
its chemical elements).”
.”
Sejauh ini, kekuatan
alam didefinisikan sebagai hal yang memiliki karakter fisik dan biologis, dan
dapat dikatakan bahwa kekuatan tersebut yang memiliki karakteristik demikian
lebih unggul diandingkan manusia. Dalam hukum social, hukum alam tersebut
berlaku seperti yang Jack London ungkapkan “prinsip biologis yang demikian,
seperti seleksi alam dan yang paling dapat beradaptasilah yang bertahan,
merupakan hukum social manusia (“that
such biological principles as natural selection and the survival of the fittest
were also the laws of human society.”)
Lebih lanjut, naturalis
agaknya mengaitkan kekuatan alam dengan faktor-faktor social untuk menunjukkan
manusia hanyalah sekedar subyek dari kekuatan alam:
“They believed that men were
subject to natural forces, but they felt those forces were best displayed when
they led to unlimited wealth, utter squalor, collective orgies, blood, and
sudden death.” (Cowley, 2004)
Pembahasan mengenai apa
itu naturalism dan sastra naturalism menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa
dalam pandangan naturalism dan sastra naturalism. Foucault dalam Discipline and Punish membicarakan
sedikit tentang relasi kuasa. Dalam kutipan berikut, ditunjukkan bahwa tubuh
dimiliki oleh manusia namun alam dapat meakukan apapun kepada tubuh tersebut:
“But the body is also directly
involved in a political field; power relations have an immediate hold upon it;
they invest it, mark it, train it, torture it, force it to carry out tasks, to
perform ceremonies, to emit signs.” (Foucault, 2004)
Foucault juga
menyatakan, agar tubuh tersebut dapat menjadi kekuatan yang memiliki kegunaan,
selain harus memiliki sifat produktif, tubuh tersebut harus ditaklukan (be subjected) melalui penaklukan (subjection):
“This subjection is not only
obtained by the instruments of violence or ideology; it can also be direct, physical,
pitting force against force, bearing on material elements, and yet without
involving violence; it may be calculated, organized, technically thought out;
it may be subtle, make use neither of weapons nor of terror and yet remain of a
physical order.” (Foucault, 2004)
Lebih jauh, Foucault
menjelaskan kuasa yang dimaksud bukan merupakan kewajiban atau larangan bagi
mereka yang tidak memilikinya, dan kuasa tersebut juga menggunakan tekanan
yang, bagi saya, dikenakan pada mereka, orang-orang yang berada dalam pengaruh
kuasa tersebut:
“… this power is not exercised
simply as an obligation or a prohibition on those who "do not have
it"; it invests them, is transmitted by them and through them; it exerts
pressure upon them, just as they themselves, in their struggle against it,
resist the grip it has on them.” (Foucault, 2004)
Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, sastra naturalism memiliki salah satu karakteristik yaitu
determinisme, disamping pesimistis.
“Determinism is a philosophical
position according to which all human actions are predetermined. According to
it, a person in a given situation may think that he is able to do this or that,
but in every case the stars, the laws of physics, his character, the
conditioning he has received or something else makes him unable to do any but
one thing. It is essential to note that determinists do not say that some
actions of some people are determined.” (Cowburn, 2007)
Menjelaskan lagi lebih
jauh, determinisme dalam karya sastra terletak pada konsep hereditas:
“In the nineteenth century, some
novelists thought that determinism was an essential element of the modern
(scientific) world-view, and accepted it. These were the Naturalistic
novelists, some of whom believed that heredity determines a person’s nature,
which determines his or her actions.” (Cowburn, 2007)
Melalui determinisme
dan relasi kuasa ini, “hukum” naturalisme dijalankan dalam karya sastra. Jika
Foucault mengatakan kalau tubuh baru akan memiliki kegunaan tidak hanya saat
tubuh tersebut memiliki sifat produktif, tetapi juga harus melalui proses “penaklukan”
(subjection) sehingga terkondisi
menjadi “ditaklukan” (be subjected), maka proses dan kondisi tersebut dimungkinkan
melalui “hukum” naturalisme dimana manusia dan makhluk hidup lainnya diuji
lewat berbagai kondisi di dalam alam. Sedangkan konsep hereditas digunakan
untuk mengunci, memastikan manusia, dan makhluk hidup lainnya, dalam ruang
lingkup sastra naturalism untuk tidak dapat mengatur takdirnya, karena manusia
tidak bisa menentukan apa yang akan dan tidak akan diwariskan olehnya kepada
generasi selanjutnya.
Referensi
Cowburn,
J. (2007). Determinism. In J. Cowburn, Free Will, Predestination, and
Determinism (pp. 144, 161, 164). Milwaukee: Marquette University Press.
Cowley, M. (2004).
Naturalism in American Literature. In H. Bloom, American Naturalism
(pp. 49-78). Philadelphia: Chelsea House Publications.
Foucault, M. (2004).
Discipline and Punish. In J. Rivkin, & M. Ryan (Eds.), Literary Theory:
An Anthology Second Edition (pp. 549-551). Malden, Massachusetts.
No comments:
Post a Comment